Jumat, 11 Februari 2011

Proklamasi kemerdekaan





Coba bayangkan seandainya tidak ada Frans Soemarto Mendur di Pegangsaan Timur 56 Jakarta  tanggal 17 Agustus 1945 ? Apakah proklamasi kemerdekaan Indonesia itu dapat diyakini benar-benar terjadi? Sebagai fotografer ia mengabadikan peristiwa yang teramat bersejarah bagi bangsa Indonesia dengan jumlah plat film yang terbatas. Ironisnya belakangan diketahui bahwa plat film foto proklamasi itu tidak ditemukan lagi. Namun foto itulah yang direproduksi dalam buku-buku bersejarah sebagai saksi dan bukti bahwa kemerdekaan Indonesia telah dikumandangkan.

Ini bisa  dibandingkan dengan rekaman pidato Proklamasi itu sendiri yang memang tidak ada dalam peristiwa tersebut. Kalau kita sekarang mendengar melalui radio atau televisi suara lantang Bung Karno, itu direkam kemudian pada tahun 1950-an. Jusuf Ronodipuro membujuk Bung Karno untuk melakukan rekaman yang pada mulanya ditolak. Proklamasi itu hanya sekali dan tidak diulang lagi, tukas Bung Karno. Tetapi ini perlu dan penting bagi sejarah terutama untuk generasi muda, ujar Jusuf Ronodipuro.







Tanggal 17 Agustus 1945, suasana Jakarta terasa sepi tetapi mencengkam karena pasukan Jepang yang bersenjata lengkap masih sering berpatroli. Bendera Hinomaru masih berkibar. Dini hari, dua bersaudara Alexius Mendur (1907-1984), kepala desk foto kantor berita Jepang Domei dan Frans Soemarto -- Soemarto adalah nama bapak angkatnya  Mendur (1913-1971) yang bekerja untuk surat kabar Asia Raya berangkat ke Pegangsaan Timur 56 karena mereka memperoleh informasi akan ada peristiwa penting di sana. Menjelang proklamasi, Asia Raya adalah satu-satunya surat kabar di Jakarta yang dibolehkan terbit oleh Jepang. Peristiwa teramat penting ini hanya diberitakan sangat singkat dalam edisi koran tersebut  tanggal 18 Agustus 1945, tanpa ada foto sama sekali. Pihak Jepang telah melakukan sensor. Untuk menghindari penggeledahan, Frans Mendur menyembunyikan plat film itu di dalam tanah di bawah pohon pada halaman belakang kantor Asia Raya. Foto-foto ini baru dimuat pada bulan Februari 1946 pada harian Merdeka (yang didirikan tanggal 1 Oktober 1945).

Fotografi itu bukan saja saksi sejarah (“seeing is believing”) tetapi juga bukti sejarah. Anekdot yang disampaikan sejarawan terkemuka Indonesia almarhum Sartono Kartodirdjo mengungkap hal ini. Dalam konferensi IAHA (International Association of Historians of Asia) ketiga  di Manila tahun 1971, sejarawan Taufik Abdullah sehabis seminar bergurau kepada  rekan-rekan Indonesia lainnya. Ia tidak akan mencuci tangannya sampai besok pagi, karena tangan itu masih wangi sehabis berjabatan tangan dengan Imelda Marcos, Ibu Negara dan mantan ratu kecantikan Filipina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar